Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia. Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecik, anak dari Sultan Mahmud Shah sultan dari Kesultanan Johor yang dibunuh. Raja Kecik dilarikan ke Pagaruyung oleh ibundanya Encik Apong. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat dan menjadi kekuatan yang di perhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera dan Kalimantan. Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir yaitu Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya Kerajaan Siak Sri Indrapuri (Provinsi Riau saat ini) untuk bergabung dengan Republik Indonesia.
-ETIMOLOGI-
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.
-BERGABUNG DENGAN NKRI-
Ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan Republik Indonesia, Kesultanan Siak Sri Indrapura langsung mengakui lahirnya sebuah negara baru. Sultan Syarif Kasim II (1893-1968) secara ikhlas menyerahkan seluruh wilayah kedaulatannya. Kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mencakup pesisir timur Sumatra, Semenanjung Malaka, dan di daratan hingga ke Deli Serdang, Sumatra Utara.
Selain hak penguasaan tanah, semua harta kekayaan dan properti yang dimilikinya diberikan untuk perjuangan kemerdekaan RI. Termasuk kompleks Istana Asherayah Al-Hasyimiyah juga dihibahkan sebagai bentuk dukungan atas kemerdekaan Indonesia. Istana Asherayah Al-Hasyimiyah letaknya tepat di depan Alun-Alun Kabupaten Siak.
Tidak hanya itu, uang kas kesultanan sebesar 13 juta gulden juga diberikan kepada duo proklamator Indonesia. Dengan penghitungan kurs pada 2011, uang 13 juta gulden itu setara dengan 69 juta euro atau sekitar Rp 1,074 triliun. Adapun, salah satu bukti warisan tanah yang diberikan kepada negara adalah lahan yang masuk area Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II di Kota Pekanbaru yang menjadi ibukota dari Provinsi Riau.
Seluruh kekayaannya dan 12 daerah tahta kesultanan diserahkan demi Republik untuk membela kemerdekaan. Beliau meninggal dalam keadaan miskin di rumah peraduan. Rumah peraduan bentuknya sangat sederhana dan berada di sisi barat kompleks istana.
Sultan yang meninggal di Kota Pekanbaru pada 23 April 1968 ini rela mendedikasikan secara total hidupnya untuk membantu pejuang lantaran berdirinya RI adalah sebuah keniscayaan. Setelah ratusan tahun dijajah bangsa Eropa, berdirinya sebuah negara baru lewat proses kemerdekaan merupakan sebuah pilihan paling baik.
Selain itu, pilihan menghibahkan segala hal yang dimilikinya lantaran Sultan Siak ke-12 ini tidak memiliki zuriat (keturunan) dari istrinya yang berdarah Turki. Karena itu, demi kebaikan bersama, Sultan yang menempuh pendidikan di Eropa ini menyerahkan kedaulatan yang dipegangnya kepada Soekarno-Hatta.
Setelah merasa mantap dengan pilihannya, dengan ditemani oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan yang merupakan Gubernur Sumatra pertama, Sultan Syarif Kasim II menyerahkan mahkota Kerajaan Siak kepada Soekarno di Istana Negara pada 1945. Dengan berpakaian kesultanan lengkap, penyerahan mahkota tersebut sebagai simbol bergabungnya seluruh wilayah Kesultanan Siak dengan RI. Saat ini mahkota tersebut telah tersimpan di Museum Nasional.
Atas totalitas bantuannya makanya beliau diangkat sebagai penasihat oleh Presiden Soekarno. Pertimbangan lainnya juga karena Sultan orang yang cerdas dan berwawasan luas, namun sayangnya, Bung Karno belum pernah berkunjung ke Siak.
Sultan Syarif Kasim II sangat total dalam mendukung terbentuknya RI. Hal itu dibuktikan dengan berhentinya sistem administrasi dan kepegawaian yang mengabdikan hidupnya untuk Kesultanan Siak. Alhasil, ketika pejuang kemerdekaan benar-benar mengusir penjajah, Sultan berdarah Melayu ini tidak lagi memiliki apa-apa untuk diwariskan. Sultan meninggal dalam keadaan miskin. Hal ini berbeda dengan kesultanan lain yang masih menyimpan kekayaan. Bahkan, di Solo, sekarang dua kubu berebut.
Sultan Syarif Kasim II tidak setengah-setengah dalam memberikan segala yang dimilikinya. Gara-gara itu, seluruh tatanan kesultanan yang terdiri, armada prajurit, pelayan kerajaan, pegawai administrasi, dan semua orang yang mengabdi kepada sultan harus kehilangan pekerjaan.
Hal itu berbeda dengan kesultanan di Jawa (Kesultanan Surakarta, Yogyakarta, dan Cirebon) yang mengakui tegaknya RI hanya lewat dukungan administrasi. Ketiga kesultanan tersebut tidak mendukung kedaulatan penuh lantaran tak disertai penyerahan seluruh aset kekayaan Kesultanan seperti yang dilakukan oleh Sultan Syarif Kasim II. Atas segala jasa sang Sultan Siak maka pantaslah beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden BJ Habibie pada 6 November 1998.
Namun sayang, kini Indonesia seakan menutup mata dan melupakan Kesultanan Siak, mata pemerintah Indonesia seakan hanya tertuju kepada wilayah-wilayah besar di Indonesia seperti Jakarta dan Yogyakarta. Jika pemerintah Indonesia lebih menghargai sejarah setiap wilayah dan setiap suku yang ada di Indonesia sudah tentulah tidak akan ada yang namanya pemberontakan ingin merdeka di berbagai wilayah di Indonesia.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan